Oleh :
MUHAMAD IKRAM PELESA
(Ketua PB HMI Bidang Pembangunan Energi, Migas dan Minerba)
Efouria atau semangat peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-77 tahun masih tetap dirasakan oleh segenap masyarakat Indonesia walaupun di tengah situasi pandemi tahun ini.
Sudah 77 tahun kita merdeka sebagai bangsa, menghadapi persoalan paling mendasar. Yakni bagaimana bangsa ini bisa keluar dari tantangan global; krisis ekonomi akibat pandemi corona. Tema besar yang diusung pemerintah tahun ini adalah ”Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Sekretaris Negara Nomor B-620/M/S/TU.00.04/07/2022 yang dikeluarkan pada tanggal 12 Juli 2022.
Peringatan 77 tahun kemerdekaan menjadi refleksi bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita proklamasi. Yakni kedaulatan di segala bidang, khususnya bagaimana tata kelola pangan dan sumber ekonomi yang kita miliki. Pada dasarnya, kedaulatan pangan lebih berfokus pada hak negara yang bisa secara mandiri menentukan kebijakan dan menjamin terpenuhinya pangan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Tentunya disesuaikan dengan kondisi bangsa yang sedang dialami saat ini. Termasuk pada masa pandemi corona seperti yang sedang terjadi. Dengan kata lain, kedaulatan pangan merupakan salah satu bentuk dari kemerdekaan bangsa demi terwujudnya kesejahteraan bangsa.
Sudah 77 tahun kita merdeka. Namun, kita belum juga paham memaknai arti berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri. Sampai saat ini kita tidak menyadari bahwa ketergantungan tersebut yang membuat bangsa kita tidak juga mampu menyejahterakan rakyatnya.
Orientasi pembangunan yang selalu dibiayai dengan utang dan tingginya ketergantungan hanya akan membatasi keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya. Karena kekuasaan ada pada si empunya uang, pelan tapi pasti, kedaulatan negara dibikin runtuh oleh titah si empunya uang.
Lebih lanjut untuk kesekian kali publik dibuat gusar terkait kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif dasar listrik dengan menerapkan kembali kebijakan tarif adjustment dalam beberapa waktu lalu.
Kebijakan tarif adjustment listrik adalah mekanisme mengubah dan menetapkan naik atau turunnya tarif listrik dengan mengikuti perubahan empat parameter ekonomi makro rata-rata per tiga bulan, yaitu realisasi kurs rupiah, Indonesia Crude Price (ICP)/harga minyak acuan nasional, harga batu bara acuan, dan tingkat inflasi.
Konon pemerintah mengatakan dengan menerapkan kebijakan tersebut, pemerintah meyakini mampu menghemat kompensasi listrik sebesar 7 hingga 16 triliun rupiah. Begitupun sebaliknya, jika tarif listrik tidak naik, (kemungkinan negara akan lebih besar menanggung kerugian) maka sebesar itu juga nilai kompensasi atau subsidi yang akan ditanggung oleh pemerintah.
Atas dasar itulah penulis mencoba mengurai salah satu alasan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dengan mengambil case batubara yang dinilai lebih kaya akan analisa dan sumber data nya.
Didalam kesempatan, penulis menyampaikan bahwa hal terbesar yang akan dihadapi pemerintah kedepan ialah ketika tarif dasar listrik naik akibat ketidakmampuan pemerintah dalam merumuskan kemanfaatan sumber daya batubara untuk kepentingan nasional khususnya pada sektor ketenagalistrikan (PLN).
Bagaimana tidak, bahwa salah satu sumber kerugian dalam penerimaan negara adalah akibat tidak terpenuhinya Pasokan Batubara dalam negeri Domestic Market Obligation (DMO) pada sektor ketenagalistrikan yang sengaja dilakukan oleh para emiten batubara, tentu pada permainan ini yang sangat dirugikan adalah PLN.
Penulis mengambil contoh bahwa realisasi penyerapan DMO batubara dari pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sampai Oktober 2021 hanya sebesar 41,77 juta ton, sementara kewajiban alokasi DMO batubara dalam negeri sebesar 66,06 juta ton, artinya negara kekurangan pasokan batubara dalam negeri pada sektor ketenagalistrikan sebesar 24,29 Juta Ton.
Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Harga Batu Bara Acuan (HBA) bulan Desember 2021 sebesar US$ 159,79 per ton, untuk menghitung kerugian negara maka harga ekspor batubara pada update terakhir dikurangi harga listrik umum US$70 per ton menjadi US$89,79.
Jumlah itu kemudian dikalikan dengan volume kekurangan pasokan sesuai kontrak, nah jika dikonversi dalam kurs rupiah menjadi Rp.14.382 Jumlah ini kemudian dikalikan dengan volume kekurangan pasokan sesuai kontrak sebesar 24.290.000 ton, maka kekurangan DMO yang ditimbulkan senilai 31.3 Triliun, inilah nilai yang dikeluarkan negara untuk menutupi pasukan batubara disektor ketengalistrikan dalam negeri.
Penulis menilai imbas dari kekurangan DMO batubara disektor ketengalistrikan akan berimbas pada naiknya Tarif Dasar Listrik, karena diakibatkan biaya produksi PLN yang membengkak akibat tidak terpenuhinya target pasokan batubara, sehingga langkah yang sangat efisien yang dilakukan oleh PLN dengan terpaksa yaitu menaikan harga listrik komersil, penulis berharap pemerintah hanya cukup meminta para emiten atau produsen batubara melunasi denda kekurangan DMO senilai 31, 3 Trilun dari pada menerapkan kembali kebijakan tariff adjustment yang hanya menghemat kompensasi listrik sebesar 7 hingga 16 triliun rupiah.
Dalam tulisan ini penulis juga menyayangkan perpanjangan izin PT. Kaltim Prima Coal (KPC) yang sebelumnya berakhir 31 Desember 2021 sebagai salah satu produsen atau emiten batubara yang kurang DMO mestinya pemerintah menolak perpanjangan tersebut, sebelum mereka membayar denda kekurangan DMO. Sebab berdasarkan data PLN emiten batubara tersebut juga tidak memenuhi pasokan batubara dalam negeri disektor ketenagalistrikan.
Dimana volume DMO yang seharusnya dipenuhi adalah sebesar 14,45 juta ton tetapi yang baru dipenuhi adalah 8,8 juta ton, artinya negara harus menutupi kekurangan pasokan PT. KPC sebesar 5,65 juta ton, jika dikonversikan dengan harga batubara acuan dan kurs dollar perhari ini mengakibatkan kerugian sebesar jika dikonversikan dengan harga batubara acuan (HBA) maka kerugian Negara yang ditimbulkan adalah senilai 7,2 Triliun rupiah.
Pengetatan tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri yang ditetapkan pada 4 Agustus 2021 lalu, dimana Pemerintah akan memberi sanksi berupa larangan ekspor hingga pengenaan denda bagi pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan DMO.
Keputusan pemerintah dalam menaikan tarif dasar listrik merupakan lanjutan kebijakan pemerintah sebelumnya yakni menaikkan BBM Jenis Pertamax, Pajak PPn dan Harga sembako yang konon dinarasikan sebagai effect dari Konflik Perang Rusia dan Ukraina, kok bisa begitu?
Padahal menurut penulis konflik perang rusia dan ukraina tidak begitu menyentuh kebutuhan energi di negara kita secara mendalam apalagi berkaitan langsung dengan pasokan ketenagalistrikan dalam negeri. Mengapa demikian?
Pertama, Sumber daya Pasokan ketenagalistrikan Negara kita sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam negeri.
Kedua, penulis mencoba menelisik lebih jauh bahwa sumber daya pasokan ketenagalistrikan dalam negeri ditopang penuh oleh energi termal yang sumber dayanya begitu melimpah.
Ketiga, Energi termal merupakan sumber energi yang paling banyak digunakan di negara kita dalam produksi ketenagalistrikan, seperti Pembangkit listrik energi ini dibagi lagi jenisnya berdasarkan bahan bakar yang digunakan seperti batubara (PLTU), Gas, Diesel.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan pada tanggal 18 Januari 2022 bahwa Produksi Pembangkit listrik Indonesia mencapai 73.736 megawatt (MW) atau 73,74 gigawatt (GW) hingga November 2021. Dari total produksi tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan kontributor pembangkit listrik terbesar dengan menyumbang 61,200 GW atau 83% dari total pembangkitan listrik yang bersumber dari batubara.
Sementara data Konsumsi Listrik Indonesia (2015-2021) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan bahwa konsumsi listrik Indonesia mencapai 1.109 kilowatt jam (kWh) per kapita pada kuartal III 2021, angka itu setara dengan 92,2% dari target yang ditetapkan pada 2021 sebesar 1.203 kWh per kapita, disisi lain jumlah pelanggan listrik per September 2021 telah melebihi target, yakni mencapai 81,229 juta pelanggan 102,6% dari target sepanjang 2021 dengan patokan 79,187 juta pelanggan.
Sederhananya jika 73,74 gigawatt (GW) hasil produksi listrik dalam negeri kita dalam setahun konversikan dalam bentuk kilowatt maka jumlahnya adalah 73.740.000 Kilowatt/jam. Kemudian dibandingkan dengan konsumsi listrik dalam negeri 1.109 Kilowatt/jam dikalikan 24 jam dalam setahun maka jumlahnya adalah 14.970.840 Kilowatt/jam, angka inilah yang dihabiskan Negara kita setiap tahunnya.
Penulis mencoba menjumlahkan hasil produksi, kemudian dikurangi konsumsi dalam negeri terdapat sisa produksi listrik Negara kita sebesar 58.769.160 Kilowatt/jam, lalu kemana sisa produksi listrik dalam negeri ini dibawa kemana? apakah ini bisa dikatakan menghemat 7 – 16 triliun? Padahal, hasil analisa penulis bahwasan nya sisa produksi Listrik Negara jika dikonversikan menjadi Rupiah ini akan menjadi nilai yang sangat besar yaitu 30,9 Triliun Rupiah.
Jika meminjam istilah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan “Big Data” maka saduran data diatas dapat disebut demikian, diparagraf terahir tulisan penulis memberi saran kepada pemerintah dalam 2 hal.
Pertama, tidak terburu-buru dalam mengambil langkah menaikkan tarif dasar listrik, mengingat masih banyaknya hak pemerintah yang harus ditagih dan diselesaikan oleh para emiten batubara dalam memenuhi pasokan batubara dalam negeri untuk sektor ketenagalistrikan.
Kedua, memaksimalkan sisa produksi pembangkit listrik untuk kepentingan nasional. Ketiga, Pemerintah lebih serius dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hulu hingga hilir kebijakan pemanfaatan sumber daya ketenagalistrikan khususnya disektor batubara, mengingat 83% produksi listrik dalam negeri disupport oleh PLTU.
Dikarenakan harga batu bara melesat di tengah meningkatnya kebutuhan energi dunia. Hal itu membuat perusahaan batu bara cenderung melakukan ekspor dibanding memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pemerintah sendiri telah mewajibkan pemenuhan 25% untuk kebutuhan dalam negeri dari rencana produksi dengan harga yang dipatok US$ 70 per ton.
Dengan hal sederhana sudah dapat kita lakukan untuk mengantisipasi krisis ketahanan sumber daya ini. Namun, yang terpenting, kini kesadaran tersebut perlu dibangun kembali dengan pendasaran pada kesadaran baru.
Usia 77 tahun kita merdeka memberikan arah bagi masa depan bangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi kerja dalam praksis kebijakan. Demi terwujudnya Indonesia merdeka yang mampu mengaktualisasi Trisakti Bung Karno. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.