Penggiat Kajian Hukum Tata Negara M. Ridwan mengatakan Pimpinan MPR RI seharusnya segera melantik wakil ketua yang baru dari unsur DPD RI. Hal itu dikarenakan proses pergantian Wakil Ketua MPR dari unsur DPD itu telah sesuai dengan aturan yang ada.
“Pimpinan MPR seharusnya segera melantik Wakil Ketua MPR yang baru. Karena Kelompok DPD telah menyampaikan surat penggantian Pimpinan MPR unsur DPD sejak tanggal 5 September kemarin,” kata Ridwan melalui keterangan tertulis pada Minggu (18/09/2022).
Ridwan mengatakan berdasarkan Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tatib MPR Pasal 29 Ayat 3 semestinya tanpa menunggu 30 hari, pimpinan MPR sudah bisa mengambil keputusan untuk menetapkan Wakil Ketua MPR yang sudah diusulkan oleh Kelompok DPD.
Selain itu, tidak ada satu klausul pasal manapun di Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) dan di Tatib MPR yang menjelaskan bahwa Pimpinan MPR bisa menunda pelantikan Pimpinan MPR yang baru karena adanya upaya hukum ataupun tidak.
“Bahkan dilanjutkan dalam Pasal 29 Ayat 4 pimpinan MPR seharusnya wajib menindaklanjuti usulan penggantian Wakil Ketua MPR yang baru dengan menetapkan melalui Keputusan MPR. Jika tidak ditindaklanjuti, Pimpinan MPR bisa dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik itu UU MD3 ataupun Tatib MPR,” jelas Ridwan.
Oleh karena itu, lanjut Ridwan, seharusnya Pimpinan MPR tidak perlu terpengaruh dengan segala upaya yang dilakukan oleh kubu Fadel Muhammad yang meminta tidak terburu-buru ataupun menunda pelantikan karena mekanisme penggantian pimpinan MPR unsur DPD sudah diatur secara terang benderang di dalam UU MD 3 dan Tatib MPR.
Ridwan menjelaskan mekanisme penggantian pimpinan MPR telah diatur berdasarkan Pasal 17 UU MD3 yang menyatakan bahwa Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena tiga hal, yaitu meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Selanjutnya dalam Pasal 19 UU MD3 berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib”.
Kemudian dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Peraturan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR menyatakan Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD.
Ridwan pun menyatakan bahwa pernyataan Koordinator Tim Hukum Fadel Muhammad, Dahlan Pido, yang menyatakan bahwa Pimpinan MPR tidak perlu terburu-buru untuk mengambil keputusan terkait pergantian Wakil Ketua MPR dari unsur DPD karena adanya dua pimpinan DPD yang menarik dukungan terhadap surat keputusan (SK) pemberhentian Fadel Muhammad adalah pernyataan yang keliru.
Begitu juga dengan adanya dua gugatan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan Bareskrim Polri pada hari Jumat (16/09/2022). Menurut Ridwan hal itu merupakan langkah yang tidak mendasar dan bahkan bisa menjerumuskan Pimpinan MPR untuk melanggar aturan hukum yang berlaku.
“Pernyataan itu merupakan pernyataan yang keliru dan tidak berdasar bahkan bisa menjerumuskan Pimpinan MPR untuk melanggar aturan hukum yang berlaku,” tegas Ridwan.
Demikian pula pernyataan Dahlan yang menilai Sidang Paripurna DPD yang berujung kepada agenda mosi tidak percaya adalah proses dan tindakan yang salah dan cacat hukum serta inkonstitusional karena melalui penyeludupan agenda.
Ridwan mengatakan kalau melihat alur mekanisme pemberhentian Fadel Muhammad yang pernah disampaikan oleh Sekretariat Jenderal DPD dalam konfrensi pers tanggal 13 September 2022 sudah sesuai dengan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tatib DPD.
Mosi Tidak Percaya sendiri pada awalnya ditandatangani 84 anggota yang kemudian diserahkan kepada Pimpinan DPD, selanjutnya oleh Pimpinan DPD diputuskan untuk dibahas dalam rapat Pleno Panmus, yang menghasilkan keputusan bahwa persoalan mosi tidak percaya akan disampaikan dalam Sidang Paripurna DPD RI ke-13 tanggal 15 Agustus 2022. Dalam Sidang Paripurna tersebut, jumlah Anggota yang mendatangani Mosi Tidak Percaya bertambah 91 anggota.
Pada tanggal 16 Agustus diagendakan Sidang Paripurna ke-1 masa Sidang I Tahun sidang 2022-2023, dimana pada saat itu anggota DPD kembali mempertanyakan tindaklanjut pimpinan DPD atas surat Mosi Tidak Percaya terhadap Fadel Muhammad.
“Akhirnya, setelah melalui pembahasan disepakati bahwa masalah tersebut akan dibahas dalam Rapat Pimpinan DPD RI sebelum tanggal 22 Agustus 2022,” kata Ridwan.
Kemudian pada tanggal 18 Agustus, Pimpinan DPD RI melakukan Rapat Pimpinan Pengganti Panmus untuk membahas masalah surat Mosi Tidak Percaya terhadap Fadel Muhammad yang pada saat itu yang menandatangani surat Mosi Tidak Percaya bertambah menjadi 97 anggota.
Karena pada saat itu, di awal tahun sidang, maka keanggotaan dan pimpinan alat kelengkapan DPD RI belum terbentuk. Sehingga mengacu pada Pasal 73 Ayat (2) Tatib DPD RI berbunyi “apabila Panmus tidak dapat mengadakan sidang, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 Ayat (7).”
Dalam Pasal 75 Ayat (7) berbunyi “dalam hal Panmus tidak menetapkan jadwal acara dan kegiatan DPD RI, penetapan dapat dilakukan oleh Pimpinan DPD RI.”
Selain itu juga dengan mengacu Pasal 266 Ayat (1) Tatib DPD berbunyi “dalam keadaan memaksa, pimpinan dan anggota dapat mengajukan usul perubahan tentang acara sidang paripurna yang sedang berlangsung”.
Kemudian pada Ayat 2 berbunyi “Sidang yang bersangkutan segera mengambil keputusan tentang usul perubahan acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
“Maka berdasarkan Rapat Pimpinan pengganti Panmus tersebut, disepakati bahwa permasalahan Mosi Tidak Percaya kepada Fadel Muhammad akan dibawa dan dibahas dalam Sidang Paripurna ke-2 untuk diambil keputusan,” lanjut Ridwan.
Sehingga dalam Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 yang digelar tanggal 18 Agustus 2022, memutuskan Fadel Muhammad tidak lagi menjabat sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur DPD yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan Wakil Ketua MPR yang baru, berdasarkan mekanisme Tatib DPD Pasal 135 Ayat 1, dan 2. Pasal 136 Ayat 1 dan 2, Pasal 137.
Melihat proses tersebut, maka pemberhentian Wakil Ketua MPR unsur DPD dan pemilihan calon Wakil Ketua MPR unsur DPD yang baru di Sidang Paripurna bisa dikatakan sah dan konstitusional.
Oleh karena itu, semua pimpinan dan anggota wajib melaksanakan karena pengambilan keputusan di Sidang Paripurna merupakan keputusan tertinggi yang mengikat. Sesuai dengan Pasal 283 Ayat 6 yang berbunyi “Setiap keputusan sidang atau rapat, baik berdasarkan mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, mengikat semua pihak yang terkait”.
Jika kemudian ada dua Pimpinan DPD belakangan mencabut tanda tangannya terkait Pemberhentian Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR itu tidak mempengaruhi legalitas hasil putusan Sidang Paripurna. Apalagi Sidang Paripurna itu berlangsung kuorum berdasarkan Pasal 256 Ayat 3 Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Anggota untuk pengambilan keputusan.
Selain itu, pernyataan Dahlan yang mengungkit soal Mosi Tidak Percaya yang dianggap tidak dikenal dalam Sistem Ketatanegaran di Indonesia yang menganut Sistem Pemerintahan presidensial, itu hanyalah soal istilah saja yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan.
“Bisa saja menggunakan istilah lain seperti penarikan dukungan atau mandat, namun substansinya sama yaitu soal aspirasi ataupun suara-suara anggota DPD yang tidak puas, sehingga mereka menarik dukungan kepada Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR. Kalau aspirasi ataupun suara-suara mayoritas anggota DPD dipersoalkan ataupun digugat itu salah alamat dan sama halnya sebagai bentuk pengebirian akan tugas-tugas konstitusional yang dimiliki anggota DPD,” ungkap Ridwan.
Maka dengan melihat seluruh mekanisme yang sudah dilalui oleh DPD dalam memberhentikan Fadel Muhammad dan memilih Tamsil Linrung sebagai Wakil Ketua MPR yang baru, Maka sudah sesuai berdasarkan UU MD3, Tatib DPD, dan Tatib MPR.
“Oleh karena itu, Pimpinan MPR harus menghormati hasil Keputusan Kelembagaan DPD dan tegak lurus mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan segera mengambil suatu keputusan untuk menetapkan Tamsil Linrung sebagai Wakil ketua MPR yang baru dari unsur DPD,” tutup Ridwan. (*)